
Hari kemenangan itu biasa disebut dengan Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran sebagai penanda berakhirnya puasa Ramadhan memang menyimpan banyak ritual. Tidak hanya ritual shalat Idul Fitri dan tradisi sungkeman atau halal bi halal tetapi juga ziarah kubur. Tradisi ini telah terjadi dalam rentangan waktu yang sangat lama dan tentu bermula ketika Islam mulai berkembang di Nusantara. Para wali, khususnya Walisongo adalah orang yang pertama mengembangkan tradisi nyekar atau tradisi ziarah kubur. Di Nusantara, tradisi ini tentu sudah berkembang pada waktu kerajaan Hindu atau Budha, namun kemudian memperoleh sentuhan baru yang bersesuaian dengan ajaran Islam.
Di dalam Islam, ziarah kubur semula dilarang oleh Nabi Muhammad Saw., ketika akidah umat Islam belumlah kuat. Ada kekhawatiran bahwa ziarah kubur bisa merusak akidah umat Islam. Tradisi ziarah kubur pada masa pra-Islam ditandai dengan adanya permohonan kepada arwah orang yang meninggal. Hal ini seirama dengan penyembahan terhadap arwah leluhur. Tradisi seperti hampir dijumpai pada seluruh penyembah arwah leluhur di berbagai belahan dunia.
Seirama dengan semakin kuatnya akidah umat Islam, maka Nabi Muhammad Saw kemudian membolehkan umatnya untuk ziarah kubur. Jadi ziarah kubur juga merupakan tradisi Timur Tengah yang sudah mentradisi sedemikian rupa. Meskipun di tanah Arab tidak terdapat penyembahan kepada nenek moyang, namun di dalam praktik ziarah tersebut terdapat ritual permohonan kepada arwah yang sudah dikuburkan. Bisa saja permohonannya juga bermacam-macam sesuai dengan kepentingan yang bersangkutan. (DR. Nur Syam, LKiS Yogyakarta, Hal.205)
Lalu, bolehkan tradisi ziarah kubur yang biasa dilaksanakan oleh sebagian umat Islam di Indonesia ketika Hari Raya Idul Fitri, adakah dalil atau hujjah yang mendasarinya?
Hujjah Ziarah Kubur di Hari Raya Idul Fitri
Hujjah Ziarah Kubur di Hari Raya Idul Fitri
Pada prinsipnya, ziarah ke makam orang tua, keluarga, guru dan para ulama itu dapat dilaksanakan kapan saja; mau pagi, siang, sore, malam, boleh-boleh saja; hari Senin, Selasa, atau yang lainnya; seminggu sekali, dua kali atau tiga kali, silahkan. Sebab inti (hikmah) dari ziarah ialah menebalkan keimanan dengan mengingat kematian.
Imam Harawi dalam Syarh Shahih Muslim dalam hal penjelasan mengenai hari ziarah mengatakan: Tidak ada hadits shahih yang menerangkan ketentuan hari untuk melakukan ziarah kubur dan tidak pula ada pembatasan berapa kali ziarah.
“Dahulu saya melarang kalian berziarah kubur, namun kini berziarahlah kalian!” Dalam riwayat lain “Maka siapa yang ingin berziarah kekubur, hendaknya berziarah), karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu mengingatkan kalian kepada akhirat”. (HR. Muslim)
Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulallah Saw. bersabda: “Saya pernah melarang kamu berziarah kubur, maka berziarahlah padanya dan jangan kamu mengatakan ucapan yang mungkar”. (Tartib Musnad Imam Syafi’i, pembahasan tentang shalat, bab ke 23 ‘Sholat jenazah dan hukum-hukumnya’ hadits no. 603 jilid 1 hal. 217)
Dari hadits-hadits diatas jelaslah bahwa Nabi Saw. pernah melarang ziarah kubur namun lantas membolehkannya setelah turunnya pensyariatan (legalitas) ziarah kubur dari Allah SWT. Dzat Penentu hukum (Syari’ al-Muqaddas). Larangan Rasulallah Saw. pada permulaan itu, ialah karena masih dekatnya masa mereka dengan zaman jahiliyah, dan dalam suasana dimana mereka masih belum dapat menjauhi sepenuhnya ucapan-ucapan kotor dan keji. Tatkala mereka telah menganut Islam dan merasa tenteram dengannya serta mengetahui aturan-aturannya, diizinkanlah mereka oleh syari’at buat menziarahinya.
Al-Hakim an-Naisaburi dalam kitab Mustadrak Ala as-Shahihain jilid 1 halaman 377 menyatakan: “Ziarah kubur merupakan sunnah yang sangat ditekankan”. Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama dan tokoh Ahlusunah seperti Ibnu Hazm dalam kitab al-Mahalli jilid 5 halaman 160; Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin jilid 4 halaman 531; Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-Fikh alal Madzahibil Arba’ah jilid 1 halaman 540 (dalam penutupan kajian ziarah kubur) dan banyak lagi ulama Ahlusunah lainnya. Atas dasar itulah Syeikh Manshur Ali Nashif dalam kitab at-Tajul Jami’ lil Ushul jilid 1 halaman 381 menyatakan: “Menurut mayoritas Ahlusunah dinyatakan bahwa ziarah kubur adalah sunnah”.
Justru akan sangat bermakna bagi orang-orang yang sedang mudik ke kampung halaman, ia akan merasa tentram jika sebelum minta maaf kepada orang lain ia terlebih dahulu mengunjungi kubur orang tuanya yang (ketepatan) meninggal lebih dulu. (Mukhlas Asy-Syarqani al-Falahi, 33 Amalan Sunnah yang Dibid’ahkan hal. 228)
Oleh karena itu, ziarah di Hari Raya, sekalipun sebenarnya tidak ada perintah dan tidak ada larangan. Dan karena tidak adanya larangan, orang yang suka ziarah mengambil inisiatif alangkah indahnya jika dapat kirim doa pada hari-hari yang penuh rahmat dan ampunan (hari-hari bulan Ramadhan) dan hari yang bahagia (Idul Fitri). Hal ini bersandar dengan hadits Nabi yang berkaitan dengan sunnahnya ziarah kubur pada Hari Jum’at:
“Barangsiapa yang ziarah ke kubur kedua orangtuanya atau salah satunya paa hari Jum’at, dia diampuni dan dicatat sebagai anak berbakti” (HR. Ath-Thabrani, al-Baihaqi, Ibnu Abid Dunia, dan al-Hakim at-Tirmidzi dari Abu Hurairah) selain dalam Hasyiyah al-Bujairami, hadits ini juga disebutkan oleh imam As-Suyuthi dalam al-Lum’ah fi Khasha’ishi Yaumil Jumu’ah, dan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, tentang hadits ini al-Haitami berkata berkata, “Diriwayatkan ath-Thabari dalam al-Awsath dan Ash-Shaghir, namun di dalamnya ada Abdul Karim Abu Umayyah, dan dia itu Dha’if” (Imam Al-Haitami Majma’ az-Zawa’id hal 4312)
Atas dasar ini maka, pada hari Jum’at umat Islam yang berziarah kubur pada sanak keluarganya, memang hadits ini dhaif, tetapi ulama seperti pendapat ulama yang ittifak ia dapat dijadikan dasar untuk fadhail amal, bahkan Imam Nawawi menyatakan hadits Dhaif mengungguli pendapat siapa pun.
Justru akan sangat bermakna bagi orang-orang yang sedang mudik ke kampung halaman, ia akan merasa tentram jika sebelum minta maaf kepada orang lain ia terlebih dahulu mengunjungi kubur orang tuanya yang (ketepatan) meninggal lebih dulu. (Mukhlas Asy-Syarqani al-Falahi, 33 Amalan Sunnah yang Dibid’ahkan hal. 228)
Oleh karena itu, ziarah di Hari Raya, sekalipun sebenarnya tidak ada perintah dan tidak ada larangan. Dan karena tidak adanya larangan, orang yang suka ziarah mengambil inisiatif alangkah indahnya jika dapat kirim doa pada hari-hari yang penuh rahmat dan ampunan (hari-hari bulan Ramadhan) dan hari yang bahagia (Idul Fitri). Hal ini bersandar dengan hadits Nabi yang berkaitan dengan sunnahnya ziarah kubur pada Hari Jum’at:
“Barangsiapa yang ziarah ke kubur kedua orangtuanya atau salah satunya paa hari Jum’at, dia diampuni dan dicatat sebagai anak berbakti” (HR. Ath-Thabrani, al-Baihaqi, Ibnu Abid Dunia, dan al-Hakim at-Tirmidzi dari Abu Hurairah) selain dalam Hasyiyah al-Bujairami, hadits ini juga disebutkan oleh imam As-Suyuthi dalam al-Lum’ah fi Khasha’ishi Yaumil Jumu’ah, dan al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, tentang hadits ini al-Haitami berkata berkata, “Diriwayatkan ath-Thabari dalam al-Awsath dan Ash-Shaghir, namun di dalamnya ada Abdul Karim Abu Umayyah, dan dia itu Dha’if” (Imam Al-Haitami Majma’ az-Zawa’id hal 4312)
Atas dasar ini maka, pada hari Jum’at umat Islam yang berziarah kubur pada sanak keluarganya, memang hadits ini dhaif, tetapi ulama seperti pendapat ulama yang ittifak ia dapat dijadikan dasar untuk fadhail amal, bahkan Imam Nawawi menyatakan hadits Dhaif mengungguli pendapat siapa pun.
Ziarah hari Jum’at ada haditsnya, sedangkan ziarah sebelum dan sesudah Idul Fitri adalah realisasi dari hadits Nabi ag ar melakukan kreasi positif. Ziarah kubur menjelang hari Raya dan pasca hari Raya merupakan kreasi positif dan Nabi senang kepada sahabatnya yang mempunyai ide-ide kreatif untuk kebaikan. Seperti kisah Umar yang menambah bacaan I’tidal, juga sahabat Nabi menggunakan surat al-Fatihah untuk mengobati sengatan binatang berbisa, Nabi senang dan memberi apresiasi, begitu juga mereka yang ziarah sebelum dan sesudah hari Raya Idul Fitri setidaknya ada dua manfaat yang didapat sekaligus, yaitu:
- Manfaat pada dirinya dengan dating ke kuburan setidaknya ingat kematian, dan bisa memberi kekuatan rohani dan tentunya akan dapat meraih hikmah Ramadhan secara maksimal.
- Mendoakan kepada yang telah meninggal dan kepada dirinya sendiri, perkara diterimanya doa itu urusan Allah, kewajiban manusia adalah berdoa dan itu ibadah, maka ia mendapat pahala.
Tentang ziarah pada hari Raya, adalah bermula dari konsep fitrah, ketika itu manusia kembali kepada fitrah, maka datanglah ke makan-makam orang tua berharap ketika fitrah itu doanya memungkinkan dikabulkan lebih besar, maka hari yang mulia itu dimanfaatkan untuk berziarah mendoakan orang tua dan orang-orang yang lebih dulu menghadap sang Khaliq, ini merupakan refleksi taat kepada orang tua dan berbagi kasih dengan doa pada orang yang dicinta, jika demikian, maka ia berlaku hukum sunnah sebagai realisasi dari hadits Nabi.
Kesimpulan
Dari penjelasan dan dalil yang telah dikemukakan diketahui bahwa tradisi ziarah pada sebelum dan sesudah hari raya dengan tujuan berdoa dan mengingat kematian hukumnya adalah boleh dan bahkan sunnah, bukan kufur atau syirik, bahkan bukan perkara haram.
Dan Mengkhususkan ziarah kubur pada hari Jum’at tidak berlaku larangan Nabi mengkhususkan puasa pada hari Jum’at, karena terdapat hadits yang menganjurkan ziarah pada hari Jum’at. Sedangkan ziarah pada menjelang dan pasca Idul Fitri adalah kreasi positif untuk kebaikan diri agar lebih mengingat kematian menjadikan mental lebih siap dan sebagai ikhtiar untuk mendoakan orang tua dan saudara semoga di hari raya idul fitri ini doa lebih dikabulkan. Semoga kita terhindar dari pemikiran-pemikiran yang terlalu tekstual dan sangat sempit. Amin. (A)